Publikasi

Shellya Eriosieska
Pengusaha Bordir yang Tidak Bisa Membordir
Oleh Elly Mudzalifah


Setelah Allah menganugerahinya anak kembar, Shelly memutuskan berhenti dari pekerjaannya di sebuah stasiun televisi swasta. la memilih mengurus dan menikmati setiap perkembangan anak-anaknya ketimbang harus melalui enam jam perjalanan pulang pergi untuk bekerja. Waktu senggang, ia gunakan untuk berbisnis.

Shelly memulai bisnis perlengkapan interior rumah tangga dengan detail bordir pada akhir 2006 dengan label Rumah Anakami. Mulanya ia membuat sampel-sampel untuk ditawarkan ke kantor-kantor, kemudian memproduksi untuk stok.

Tak dinyana, dalam sebulan pro duksi perlengkapan interior rumah tangga seperti taplak meja, sarung dispenser dan bantal, serta tempat tisu buatan Shelly langsung ludes dan ia menerima banyak pesanan.
"Sebulan pesanan bisa sampai 10 set tempat tisu, taplak meja dan sarung bantal. Lumayan besar, saya langsung kewalahan. Dua bulan sudah balik modal. Dalam bisnis, saat ada peluang coba dululah, kalau ikhtiar pasti ada jalan. Apapun yang kita buat sreg di hati, senang me lakukannya, alhamdulillah ada jalan nya;'kata ibu dari llliyina Najli Anakami (6), Nisrina Kiska Anakami (3,4) dan Kiani Zahra Anakami (3,4) itu.

Shelly membangun bisnisnya dengan modal 1,5juta rupiah. Saat itu ia hanya memiliki sebuah mesin jahit dan obras, sisanya digunakan untuk membeli bahan kain. Seiring makin banyaknya pesanan, Shelly pun mampu membeli sebuah mesin bordir dan menambah jumlah modal se besar 5 juta rupiah dari hasil menjual perhiasan miliknya.


Kerja sama dengan Pengusaha UKM

Jika semula Shelly mengerjakan produk-produk tersebut hanya di bantu seorang asisten, membludaknya pesanan membuat dia mulai merekrut karyawan. Meski basis produknya adalah bordir, ternyata Shelly justru tidak bisa membordir. la menyerahkan pekerjaan bordir pada orang lain, Shelly cukup mengerjakan desain. Namun tak berarti istri dari Irfan Budiman ini tak tahu apapun. Semua aspek produksi dipelajari, sehingga ia bisa me-nghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk men jahit atau bordir, kisaran bahan yang dibutuhkan dan belajar mengatasi kendala. Jadi saat ada penjahit yang merasa sulit mengimplementasikan idenya, ia punya solusi dan bisa terus memotivasi mereka untuk mem buatnya.

Untuk mempermudah usahanya, Shelly bekerja sama dengan para pengusaha kecil menengah di ka wasan tempat tinggalnya, Sawangan Depok. Dengan begitu tatkala order tengah membludak dan tak sanggup dikerjakan oleh Shelly dan karyawannya, ia bisa mengalihkan sebagian order untuk dikerjakan di'luar'. Tentu saja desain dan kontrol kualitas tetap pada Shelly. Bekerja sama dengan pengusaha UKM juga memudahkan Shelly dalam urusan promosi. "Saat teman pameran di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Riau dan Batam, mereka bawa produk saya. Tahu-tahu ditelepon, ada yang pesan barang. Itulah enaknya kalau kerja sama dengan teman-teman UKM," tutur Sarjana Ekonomi Universitas Trisakti itu. Selain melakukan promosi 'gratisan', Shelly juga aktif mengikuti pameran dan bazaar.


Masuk Hyper Market

Setahun kemudian Shelly mulai memproduksi sarung untuk anak, mukena ibu dan anak, serta sajadah. Ide membuat itu ia dapat ketika anak-nya yang masih TK diwajibkan untuk membawa perlengkapan shalat ke sekolah. Alih-alih membeli, ia justru mendesain dan menjahit sendiri mukena dan sajadah anaknya. Ternyata anak anak dan para orang tua murid menyukai nya, pesa-nan pun mulai berdatangan.

Tak disangka, baru setahun ia mem produksi perlengkap an shalat, Shelly men dapat tawaran dari se buah hyper market untuk memasok barang ke sana. Akhirnya, meski masih mempro-duksi perlengkapan interior rumah tangga, kini Shelly lebih fokus mem produksi perlengkapan shalat. "Lagipula mukena itu untuk iba-dah, maka membuatnya merupakan iba-dah juga buat saya," jelas wanita yang menyukai momen bermain bersama anak-anaknya itu.

Shelly mengaku tidak terlalu ngoyo dalam menjalankan bisnisnya, namun tak berarti ia tak serius. Meski awal nya hanya untuk mengisi waktu luang, tapi ia terus berupaya men jalankan bisnis agar tetap bisa bertahan. la melakuan pendekatan personal dengan para pelanggannya agar mereka tetap loyal. Silaturahim senantiasa dijalin, bahkan tak jarang hubungan meningkat menjadi per temanan.

"Kita bisa saling telepon me nanyakan kabar, berdiskusi tentang produk sehingga saya jadi tahu kekurangan produk. Dari ngobrol ngobrol, tahu-tahu mereka order lagi. Padahal kan kalau kita tidak telepon, order belum tentu datang;' ungkap wanita kelahiran Se-marang 10 April 1975 itu.

Kenaikan BBM Persulit Bisnis


Shelly mengaku sulit menemukan penjahit yang berorientasi pada kualitas, bukan kuantitas. Maklum, kebanyakan penjahit yang ada merupakan jebolan pabrik yang terbiasa menitikberatkan prestasi pada kuantitas, bukan kualitas jahitan. Karena itu, SheIly harus mengubah mindset mereka dan melatih kapabilitas menjahit mereka agar sesuai standard Shel ly. Target pasar Shelly adalah menengah ke atas, karena itulah
kualitas menjadi faktor terpenting.

Shelly juga selalu menggunakan ba han 100% katun, tak masalah harga lebih mahal karena unsur kenyamanan yang ia tuju. Sejalan dengan tuntutan mening katnya kuantitas, se makin banyak pula uang yang dibutuh kan Shelly untuk melancarkan proses produksi. "Sekarang ken-dalanya modal. Karena tidak sedikit modalnya, apalagi dengan kenaikan BBM, rata rata kenaikan harga bahan 15%. Belum lagi ongkos tenaga kerja. Biaya bazaar juga sudah mahal," jelas Shelly. Untunglah para pelanggannya tak mempermasalahkan kenaikan harga produk.

Kendala lain yang muncul sebagai dampak kenaikan BBM adalah bahan kain yang beredar di pasaran. "Katun katun bermotif yang tadinya ada 20 30 motif, sekarang cuma 5-10 motif. Akibatnya, ada model-model yang tak lagi diproduksi karena bahannya tidak ada. Akhirnya saya beli yang lokal, satu motif dengan beragam warna. Sayang banget, padahal untuk model tertentu saya dapat order banyak, tapi sudah cari ke mana-mana bahannya nggak ada. Kendalanya kalau budget tidak terlalu besar, kita memang tidak bisa simpan stok bahan banyak;'papar Shelly. Tak hanya perlengkapan shalat dan interior peralatan rumah tangga, kini Shelly juga memproduksi aneka kaos anak berdetail bordir nan lucu. Sehabis lebaran Shellyjuga berencana memproduksi pakaian muslim anak.

"Tapi yang comfortable, nggak neko neko pokoknya yang kelihatan manis, sederhana, enak dipakai dan bor dirnya lain dengan yang ada di pasaran," ujar perempuan yang ber harap kelak memiliki toko sendiri itu. Dengan belasan karyawan, kini kapasitas produksi Rumah Anakami mencapai ratusan item dan omset sekitar 25 juta per bulan.


Shellya Eriosieska: Agar Anak Shalat dengan Gembira

Anak ternyata kapstok promosi yang amat ampuh.

Shalat kewajiban umat Islam yang harus diajarkan pada anak sejak usia dini. Sebagai penyemangat beribadah, orangtua harus menyediakan perlengkapan shalat bagi anak-anaknya. Dengan mukena, sarung, sajadah menarik pasti si buah hati ajin beribadah dengan gembira. Itu pengalaman Shellya Eriosieska saat pertama kali membuatkan sajadah khusus si sulung yang baru duduk di taman kanak-kanak. Sebuah sajadah mini berhiaskan nama, lengkap dengan tasnya. Tak cuma sang anak gembira.

Tiba-tiba pasar pun terbuka lebar. Tak di sangka teman-teman anaknya ingin memiliki sajadah serupa. Mereka minta kepada orangtua masing-masing. Ibu mereka memesankan sajadah untuk anak-anak sekaligus dengan mukena.'Gara-gara Najli (nama anak sulung, red) membawa sajadah, order mukena semakin banyak. Kenapa tidak diseriusi saja usaha ini?'' tutur Shelly yang mengawali usaha mukena anak pada awal tahun 2007.

Kini Shelly membuat aneka mukena, sarung, lengkap dengan sajadah mini mulai anak usia dua tahun hingga ABG. Ia menghiasi produknya dengan tempelan border gambar-gambar unik kupu-kupu, bunga, dan dedaunan. Hiasan di mukena, dikombinasikan dengan warna sajadah dan tasnya. Lalu pada mukena atau tas diselipkan nama pemiliknya.

Imbalan promosi
Sampai sekarang Najli masih `mempromosikan' mukena di sekolah. Caranya, setiap Jumat murid-murid harus membawa perlengkapan shalat. Ada saja yang tertarik dengan mukena Najli. Akhirnya mereka membeli. Imbalan dari promosi itu, Najli minta mukena baru. Maka setiap Jumat pun dia berganti-ganti mukena. Shelly pun menjadikan hari Jumat spesial menunggu anak di sekolah, sekalian mempromosikan mukena baru.Selain teman-teman sekolah anak, Shelly yang aktif di UKM Depok rajin mengikuti pameran. Hingga kini ia belum bisa memenuhi tawaran
berpameran di luar kota.

Pasalnya, perempuan berkerudung ini memiliki anak balita, kembar pula.Solusinya, dia menitipkan barang kepada teman-temannya untuk dijualkan.Melalui pameran, Shelly merasakan peminat mukena anak-anak semakin banyak. Ia memenuhi pesanan untuk mengisi butik-butik dan supermarket besar di Jakarta. Kini pesanan ada yang dari Aceh, Padang, Riau, Kalimantan Timur, NTT, bahkan Irian.''Kalau yang jauh-jauh, mungkin mereka melihat dari website,' ujarnya. Mukena karyanya pernah juga dibawa orang untuk dijual di Malaysia, Singapura, bahkan Amerika Serikat. Namun, jumlahnya belum begitu banyak.


Memilih bahan
Terjun ke usaha jahit menjahit tak pernah terpikirkan sebelumnya. ''Not interesting,'' kata Shelly ketika melihat temannya menyulam. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta ini, lebih dari lima tahun bekerja di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Keadaan berubah, sejak kelahiran anak keduanya (2005). Dia memutuskan berhenti bekerja, fokus mengurus anak-anak. Setahun kemudian, Shelly mencoba merintis usaha membuat perlengkapan rumah tangga (household, red). Tapi, setelah mukena laris manis, ia lebih banyak memenuhi pesanan mukena.Untuk modal membuat mukena anak, Shelly tak perlu merogoh kocek dalam-dalam. Sebab, perlengkapan mesin jahit dan tukang jahit sudah ada. Untuk membeli kain, dan perlengkapan bordir membutuhkan dana kurang dari Rp 1,5 juta. Keuntungan dari situ terus diputar.

Belum setahun berusaha, ia sudah balik modal. Keuntungan yang terkumpul digunakan menambah mesin jahit, mesin obras, dan mesin bordir. Peralatan yang lengkap dibantu 11 pegawai membuat produksi semakin banyak. Dalam setahun `Rumah Anakami' bisa memproduksi 800 hingga 900 potong mukena.Kepada pegawainya, Shelly menekankan agar menjaga kualitas dan pemenuhan pesanan tepat waktu. ''Kalau orang sudah puas, besok-besok pasti membeli lagi ke sini,'' katanya sembari mensyukuri pelanggan yang jumlahnya terus bertambah.

Malang melintang di dunia bisnis diakuinya penuh dengan suka duka. Sukanya, kalau barang laku, pemesan puas dengan jahitan yang rapi, warna yang sesuai dengan keinginan. Namun, ia mengaku sedih bila dikomentari harga mukenanya terlalu mahal. Padahal, katanya, harga bisa disesuaikan dengan kocek pemesan. Paling murah harga mukena Rp 55.000, sedangkan yang termahal Rp 250.000, karena bordirannya banyak dan bahannya dari kain katun terbaik.

`'Saya selalu memilih bahan berkualitas agar anak nyaman berlama-lama memakai mukena. Kalau bahannya kurang bagus membuat gerah, anak-anak ingin cepat melepas mukena. Bahan yang saya pakai ini, semakin rajin dicuci, semakin adem saat digunakan,'' ujarnya.

Ke depan istri Irfan Budiman ini, selain membuat mukena berencana memperluas produksi dengan membuat kaus Muslimah versi anak-anak. Model kaus berlengan panjang dengan ciri khas hiasan bordir gambar-gambar lucu, dan kata-kata menarik. Meski belum ada launching, kaus Muslimah anak-anak ini sudah diminati dan banyak dipesan.

Pengalaman berusaha ini membuat Shelly menyadari perbedaannya dengan bekerja di kantoran. Bila punya usaha sendiri, tidak ada yang menyuruh-nyuruh, waktu pun diatur sendiri. Tapi, bila ingin tetap eksis dituntut terus berkreasi dan bekerja keras. Dari pengalaman ini, `'Insya Allah rezeki akan mengikuti. Jumlahnya bisa melebihi pendapatan saat bekerja di kantoran,'' ungkapnya.